Selasa

Sebuah Kontemplasi



Pada suatu malam di bulan Ramadan, di sebuah toko busana Magelang, terjadi percakapan sederhana namun sarat makna antara sekelompok pemuda & pemudi dari suatu komunitas sosial Senyum Community (SC) dan 8 orang anak Panti Asuhan Darul Ilmi (PA).



SC: Ayo kesini, kamu kan sudah milih baju lebaran, sekarang gantian milih sarung yang kamu suka ya!


PA: Iya, tapi maaf kalo minta selain sarung boleh enggak?


SC: Loh, kalo bukan sarung trus pengen apa?


PA: Pengen mukena aja.


SC: Wah, kamu kan laki-laki, mukena itu untuk perempuan lho.


PA: Iya, mukena itu memang untuk perempuan, tapi itu bukan untuk saya kok. 

(Saya cukup dibelikan baju saja udah senang).

SC: Kalo bukan untuk kamu, trus untuk siapa?


PA: Untuk adik perempuan saya. Saya pengen ngasih mukena untuk adik saya pas lebaran nanti.


SC: Jlebbb!!! *speechless*



Sejenak saya (kami) tersentak haru mendengarnya. Terdiam tidak bisa berkata apa-apa. Sungguh luar biasa seorang kakak yang ingat dan ingin membahagiakan adiknya, meskipun harus 'mengorbankan' kesenangan/haknya.


Semoga cerita sederhana tersebut dapat kita jadikan renungan dan inspirasi untuk lebih 'mau berbagi' dengan sesama. Karena kebahagiaan sesungguhnya itu terlahir ketika kita dapat membahagiakan orang lain.


Salam


@apriliado


Rabu

Membeli Waktu


Pada suatu hari, seorang Ayah pulang dari bekerja pukul 21.00. Seperti hari-hari sebelumnya, hari itu sangat melelahkan baginya. Sesampainya di rumah ia mendapati anaknya yang berusia 8 tahun yang duduk di kelas 2 SD sudah menunggunya di depan pintu rumah. Sepertinya ia sudah menunggu lama.

“Kok belum tidur?” sapa si Ayah pada anaknya.
Biasanya si anak sudah lelap ketika ia pulang kerja, dan baru bangun ketika ia akan bersiap berangkat ke kantor di pagi hari. “Aku menunggu Ayah pulang, karena aku mau tanya berapa sih gaji Ayah?", kata si anak.

“Lho, tumben, kok nanya gaji Ayah segala? Kamu mau minta uang lagi ya?”, jawab si ayah.

“Ah, nggak Ayah, aku cuma pengen tahu aja” kata anaknya.

“Oke, kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Ayah bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp400.000. Setiap bulan rata-rata dihitung 25 hari kerja. Jadi gaji Ayah satu bulan berapa, hayo?”, tanya si ayah. Si anak kemudian berlari mengambil kertas dari meja belajar sementara Ayahnya melepas sepatu dan mengambil minuman. Ketika si Ayah ke kamar untuk berganti pakaian, si anak mengikutinya.

“Jadi kalau satu hari Ayah dibayar Rp400.000 untuk 10 jam, berarti satu jam Ayah digaji Rp40.000 dong!”

“Kamu pinter, sekarang tidur ya, sudah malam!”
Tapi si anak tidak mau beranjak.

“Ayah, aku boleh pinjam uang Rp10.000 nggak?”

“Sudah malam nak, buat apa minta uang malam-malam begini. Sudah, besok pagi saja. Sekarang kamu tidur.”

“Tapi Ayah...”

“Sudah, sekarang tidur!” suara si Ayah mulai meninggi.

Anak kecil itu berbalik menuju kamarnya. Si Ayah tampak menyesali ucapannya. Tak lama kemudian ia menghampiri anaknya di kamar. Anak itu sedang terisak-isak sambil memegang uang Rp30.000. Sambil mengelus kepala si anak, Ayahnya berkata: “Maafin Ayah, ya! Kenapa kamu minta uang malam-malam begini, besok kan masih bisa. Jangankan Rp10.000, lebih dari itu juga boleh. Kamu mau pakai buat beli mainan kan?”

“Ayah, aku nggak minta uang. Aku pinjam, nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajanku.”

“Iya, tapi buat apa?” tanya si Ayah.

“Aku menunggu Ayah pulang hari ini dari jam 8. Aku mau ajak Ayah main ular tangga. Satu jam saja Ayah, aku mohon. Mama sering bilang, kalau waktu Ayah itu sangat berharga. Jadi aku mau beli waktu Ayah. Aku buka tabunganku, tapi cuma ada uang Rp30.000. Tadi Ayah bilang, untuk satu jam Ayah dibayar Rp40.000. Karena uang tabunganku hanya Rp30.000 dan itu tidak cukup, aku mau pinjam Rp10.000 dari Ayah.”

Si Ayah cuma terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Ia pun memeluk erat anak kecil itu sambil menangis. Mendengar perkataan anaknya, si Ayah langsung terdiam, ia seketika terharu, kehilangan kata-kata dan menangis. Ia segera merangkul anak yang disayanginya itu sambil menangis dan minta maaf pada anaknya.

“Maafkan Ayah sayang.” ujar si Ayah.
“Ayah telah khilaf, selama ini Ayah lupa untuk apa Ayah bekerja keras. Maafkan Ayah anakku.” kata si Ayah di tengah suara tangisnya.

Si anak hanya diam membisu dalam dekapan Ayahnya.

Senin

Puisi Habibie (untuk) Ainun



Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu...

Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya...
dan kematian adalah sesuatu yang pasti...
dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu...

Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat...
adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang,
sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati,
hatiku seperti tak di tempatnya, dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi...

Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang...

Pada air mata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang...
pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada...
aku bukan hendak mengeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini...

Mereka mengira akulah kekasih yang baik bagimu sayang... 
tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik...
mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua,
tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, 
kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini...

Selamat jalan...
Kau dari-Nya,
dan kembali pada-Nya...
kau dulu tiada untukku,
dan sekarang kembali tiada...
selamat jalan sayang...
cahaya mataku,
penyejuk jiwaku...
selamat jalan...
calon bidadari surgaku...

- HABIBIE -