Sabtu

Kebudayaan Jawa

Adalah cukup rumit untuk mendeskripsikan kebudayaan Jawa karena sesungguhnya kebudayaan Jawa tidaklah homogen ataupun homolitik. Itulah sebabnya kenapa Franz Von Magnis menyatakan bahwa yang dimaksud dengan orang Jawa sesungguhnya adalah konstruksi teoritis, dan tidak menunjuk orang per orang konkret tertentu.
Para pengamat kebudayaan Jawa banyak yang mencoba mendeskripsikan nilai-nilai hidup orang Jawa seperti sabar, lila, narima. Hal tersebut oleh De Jong dianggap sebagai sikap hidup Pangestu (paguyuban ngestu tunggal) sebagai usaha manusia untuk mengambil jarak terhadap Jagad Cilik-nya, serta kemudian murni menjadi utusan Tuhan. Secara tajam Darminta memilah dua macam tradisi dalam kepujanggaan Jawa, yakni tradisi mistis dan tradisi etis. Dalam tradisi mistis inilah kita temukan kesusasteraan Dewa Ruci dan Arjuna Wiwaha yang melukiskan pertemuan manusia dengan Gustinya atau dalam ungkapan yang khas "Jumbuhing Kawula Gusti". Karya-karya sastra itu mengungkapkan perjalanan hidup manusia dalam mencari jati dirinya, identitasnya, sangkan parannya, seperti diungkapkan dalam pementasan wayang semalam suntuk. Tradisi etis menonjol pada dua karya kepujanggaan Jawa, Wedatama dari Mangkunegara IV serta Wulangreh dari Pakubuwana IV. Para pengamat mengambil kesimpulan tentang "etika malu" dari karya-karya tersebut.
Siklus permainan wayang purwa, merupakan simbol siklus hidup manusia sejak dia dilahirkan sampai kembali ke zaman kelanggengan. Wayang menggambarkan perjalanan kehidupan manusia dalam mencari makna hidupnya dan juga mengungkapkan sejumlah karakter manusia, terutama dari segi perannya di dunia ini. Sehingga hampir dapat dikatakan bahwa wayang adalah sumber inspirasi kehidupan bagi masyarakat Jawa.

Sejarah Perkembangan Macapat

Macapat sebagai sebutan metrum puisi Jawa pertengahan dan Jawa baru, yang hingga kini masih digemari masyarakat, ternyata sulit dilacak sejarah penciptaannya. Purbatjaraka menyatakan bahwa macapat lahir bersamaan dengan syair berbahasa Jawa tengahan, bilamana macapat mulai dikenal, belum diketahui secara pasti. Pigeud berpendapat bahwa tembang macapat digunakan pada awal periode Islam. Pernyataan Pigeud yang bersifat informasi perkiraan itu masih perlu diupayakan kecocokan tahunnya yang pasti.

Berdasarkan analisis terhadap beberapa pendapat dan pernyataan, Karseno Saputra memperkirakan apabila pola metrum yang digunakan pada tembang macapat sama dengan pola metrum tembang tengahan dan tembang macapat tumbuh berkembang sejalan dengan tembang tengahan, maka diperkirakan tembang macapat telah hadir di kalangan masyarakat peminat setidak-tidaknya pada tahun 1541 masehi. Perkiraan itu atas dasar angka tahun yang terdapat pada kidung Subrata, Juga Rasa Dadi Jalma = 1643 Jawa atau 1541 Masehi (Saputra, 1992 : 14).

Penentuan ini berpangkal pijak dari pola metrum macapat yang paling awal yang terdapat pada kidung Subrata. Sekitar tahun itu hidup berkembang puisi berbahasa Jawa kuno, Jawa tengahan dan Jawa baru, yaitu kekawin, kidung dan macapat. Tahun perkiraan itu sesuai pula dengan pendapat Zoetmulder lebih kurang pada abad XVI di Jawa hidup bersama tiga bahasa, yaitu Jawa kuno, Jawa tengahan dan Jawa baru.

Dalam Mbombong Manah I (Tejdohadi Sumarto, 1958 : 5) disebutkan bahwa tembang macapat (yang mencakup 11 metrum) diciptakan oleh Prabu Dewawasesa atau Prabu Banjaran Sari di Sigaluh pada tahun Jawa 1191 atau tahun Masehi 1279. Tetapi menurut sumber lain, tampaknya macapat tidak hanya diciptakan oleh satu orang, tetapi oleh beberapa orang wali dan bangsawan. (Laginem, 1996 : 27). Para pencipta itu adalah Sunan Giri Kedaton, Sunan Giri Prapen, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Muryapada, Sunan Kali Jaga, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Geseng, Sunan Majagung, Sultan Pajang, Sultan Adi Eru Cakra dan Adipati Nata Praja.

Namun berdasarkan kajian ilmiah, ada dua pendapat yang memiliki sedikit perbedaan tentang munculnya macapat. Pendapat pertama bertumpu bahwa tembang macapat lebih tua dibanding tembang gede dan pendapat kedua bertumpu pada anggapan sebaliknya. Selain kedua pendapat itu, ada pendapat lain tentang munculnya macapat berdasarkan perkembangan bahasa, yaitu:

A). Tembang macapat lebih tua daripada tembang gede
Pendapat pertama beranggapan bahwa tembang macapat lebih tua dari pada tembang gede tanpa wretta atau tembang gede kawi miring. Tembang macapat muncul pada zaman Majapahit akhir ketika pengaruh kebudayaan Islam mulai surut (Danusuprapta, 1981 : 153-154). Dikemukakan pula oleh Purbatjaraka bahwa timbulnya macapat bersamaan dengan kidung, dengan anggapan bahwa tembang tengahan tidak ada (Poerbatjaraka, 1952 : 72).

B). Tembang macapat lebih muda daripada tembang gede
Pendapat kedua beranggapan bahwa tembang macapat muncul pada waktu pengaruh kebudayaan Hindu semakin menipis dan rasa kebangsaan mulai tumbuh, yaitu pada zaman Majapahit akhir. Lahirnya macapat berurutan dengan kidung, lalu muncullah tembang gede berbahasa Jawa pertengahan, berikutnya muncul macapat berbahasa Jawa baru. Dan pada zaman Surakarta awal timbul tembang gede kawi miring. Bentuk gubahan berbahasa Jawa baru yang banyak digemari adalah kidung dan macapat. Proses pemunculannya bermula dari lahirnya karya-karya berbahasa Jawa pertengahan yang biasa disebut dengan kitab-kitab kidung, kemudian muncul karya-karya berbahasa Jawa baru berupa kitab-kitab suluk dan kitab-kitab niti. Kitab suluk dan kitab niti itu memberikan sumbangan yang besar terhadap perkembangan macapat.

C). Tembang macapat berdasarkan perkembangan bahasa
Dalam hipotesis Zoetmulder (1983 : 35) disebutkan bahwa secara linguistik bahasa Jawa pertengahan bukan merupakan pangkal bahasa Jawa baru melainkan merupakan dua cabang yang terpisah dan divergen pada bahasa Jawa kuno. Bahasa Jawa kuno merupakan bahasa umum selama periode Hindu Jawa hingga runtuhnya Majapahit. Sejak datangnya pengaruh Islam, bahasa Jawa kuno berkembang menjadi dua arah yang berlainan yang akhirnya memunculkan bahasa Jawa pertengahan dan bahasa Jawa baru. Kemudian bahasa Jawa pertengahan dengan kidungnya berkembang di Bali dan bahasa Jawa baru dengan macapatnya berkembang di Jawa. Bahkan sampai sekarang tradisi penulisan karya sastra Jawa kuno dan pertengahan masih ada di Bali.

Selasa

Metrum Macapat

Metrum Macapat, yang dalam kebudayaan Jawa dikategorisasikan sebagai tembang cilik (kecil), namun jika dikaji secara seksama, sesungguhnya memiliki pengutuban atau mencerminkan nafas tradisi tasawuf (tarekat) Islam yang klop dan harmonis. Tarekat, yang dimaknai sebagai jalan atau stadia manusia dalam mencari kembali bentuk agregasi hubungan kebersamaan Illahi (kemakhlukan dan Ketuhanan atau Manunggaling Kawula Gusti), tercermin secara nyata dalam nama-nama genre Macapatan tersebut.

Di mana urutan kesebelas nama tembang Macapat itu, tidak lain mencerminkan perjalanan manusia dari sejak lahir hingga kembali bersatu dengan Tuhan. Artinya, urutan tembang Macapat itu tak lain merupakan dialektika sosial kemanusiaan sekaligus spiritual-religius bagi manusia Jawa dalam mencapai derajat kemanusiaannya yang lebih baik, bermakna dan bermartabat sesuai nafas ajaran (tasawuf) Islam. Karena nama-nama tembang tersebut menunjukkan arti masing-masing sesuai dengan maksud, tujuan dan karakter yang harmonis dengan stadia kehidupan (individu) manusia, berhadapan dengan dimensi keilahian (hablum minallah).

Urutan metrum Macapat itu adalah:

1. Mijil artinya lahir/kelahiran;
2. Maskumambang (seperti emas yang hanyut) mencerminkan kehidupan manusia masa bayi. Yakni sejak lahir hingga bisa berjalan. Artinya bayi masa ini ibarat ‘emas’, jika tidak dijaga dan dipelihara secara baik, ia hanya akan (hanyut) sia-sia;
3. Kinanthi atau masa kanak-kanak. Di mana masa ini biasanya, ke manapun orangtuanya pergi, ia selalu ingin ikut. Sehingga dinamakan kinanthi (selalu minta dikanthi).
4. Sinom adalah cerminan masa remaja;
5. Dhandhanggula atau masa-masa yang ‘serba manis’ laksana gula. Tidak lain mencerminkan masa pubertas awal;
6. Asmarandana atau masa percintaan, memasuki usia perkawinan (Asmarandana; berasal dari kata ‘asmara’ dan ‘dahana’/api). Jadi Asmarandana artinya berkobarnya api asmara;
7. Durma atau masa ‘berdarma’. Yakni masa memasuki realitas kerja yang konkret (usia produktif), sebagaimana seorang ksatria dalam pandangan Hindu. Di mana Durma atau darma juga bermakna berdarma (sedekah) dalam pengertian religius;
8. Pangkur atau munkar. Yakni masa memalingkan diri (masa pensiun). Di mana Pangkur dalam hal ini lebih bermakna religius ‘mungkuri’ kenikmatan duniawi, untuk lebih mengejar kenikmatan ukrowi (akhirat/spiritual). Dengan jalan lelaku suci, nggegulang kalbu (membina keutamaan jiwa), mencari kekayaan batiniah, dengan banyak beramal dan beribadah untuk bekal kehidupan sesudah mati. Pangkur ini dalam konsepsi tasawuf Islam disebut Ujlah atau memalingkan diri dari kehidupan duniawi untuk menempuh jalan spiritual (tarekat). Atau Sanyasi, bertapa ke hutan dalam konsepsi teologi Hindu;
9. Megatruh (megat, putus dan ruh/jiwa). Saatnya manusia meninggal;
10. Pucung (pocong: memasuki alam kubur). Selanjutnya yang terakhir adalah:
11. Gambuh. Yakni masa di mana ruh kembali ke haribaan Illahi. Gambuh atau Jumbuh. Yaitu Jumbuhing Kawula Gusti. Bersatunya manusia dengan Tuhan.

Namun dari urutan nama-nama tembang itu, ada beberapa pendapat yang menempatkan urutan Sekar Gambuh, sesudah Sekar Pangkur. Dengan pertimbangan bahwa Gambuh yang berarti ‘kesesuaian jiwa’ (jumbuh) manusia dengan Tuhan ‘dapat dicapai oleh manusia di dunia, baru kemudian disusul Megatruh (mati). Sedangkan Gambuh dalam urutan terakhir sebagaimana diurai di atas, bermakna sebuah ungkapan esoterik dari kesatuan kembali dengan Tuhan Manunggaling Kawula Gusti dicapai manusia di akhirat, setelah mengalami masa Megatruh dan Pucung (alam kubur).
Metrum Macapat ini muncul karena sebagaimana diungkap oleh pakar mistik-Islam Kejawen, Prof Dr Simuh dalam bukunya Sufisme Jawa (1995) bahwa para wali --mereka yang notabene diidentifikasikan menciptakan metrum Macapat ini-- pada masa itu berdakwah dengan pertama-tama mengubah dan memperkenalkan konsep waktu. Dari konsep waktu yang sirkulair (cakra manggilingan) yang bergerak dari alam pikir ajaran Hindu Buddha yang lebih dulu menguasai alam pikir Jawa, menjadi konsep waktu yang linier Newtonian yang bersifat rasional filosofis dan epistemologis sebagaimana paham modern. Adapun yang menjadi center of mind atau pusat orientasi dan kesadaran akan kewaktuan yang bersifat linier Newtonian itu adalah Makah (Kabah) yang menjadi kiblat dari seluruh identifikasi dan orientasi spiritual umat Islam.
Dengan adanya perubahan dan penggantian konsep waktu ini muaranya kebudayaan Jawa yang masa itu di tangan alam pikir Hindu-Buddha telah mengalami establisme, kembali menemukan watak fleksibilitasnya yang menjadi elemen penting dari proses dan energi budaya. Sehingga kebudayaan Jawa kembali mengalami aktivitas yang dinamis. Terbukti sejak diperkenalkan metrum Macapat ini, kehidupan kebudayaan Jawa menjadi dinamis. Dengan metrum Macapat ini, kemudian di Jawa muncul ribuan karya sastra yang bernafaskan ajaran Islam --termasuk Serat Centhini yang legendaris itu-- tidak bisa dibaca secara pas tanpa bantuan khazanah literer ajaran Islam.
Di samping lewat Macapat, kunci penting keberhasilan para Wali Sanga dalam misi dakwahnya menyebarkan Islam di tanah Jawa, karena mereka menggunakan metode yang bersifat kompromis-akomodatif. Artinya sebagaimana yang dipelopori Sunan Giri, Bonang dan Kalijaga, mereka menggunakan media, sarana dan prasarana budaya lokal yang telah berkembang sebelumnya. Seperti lewat ekspresi wayang (teater), gamelan (musik) maupun sastra. Selain itu para Wali juga menciptakan karya-karya baru berdasarkan genre yang sudah ada. Di luar itu juga menyempurnakan dan meluruskan karya-karya yang ada untuk disesuaikan ajaran-ajaran dengan nafas keislaman. Itulah sebabnya, masa itu Islam mudah diterima dan berkembang secara signifikan, tanpa menimbulkan konflik yang berarti.

source: otto sukatno cr

Macapat


Kata tembang (nyanyian) bersinonim dengan kidung, kakawin dan gita. Kata kakawin berasal dari bahasa kawi (sanskerta) yang berarti penyair. Kakawin berarti syair, gubahan, kidung, nyanyian (Mardiwarsito, 1981 : 274). Kata kidung berarti nyanyian sudah dikenal sejak terciptanya karya sastra Jawa kuno. Sedangkan kata tembang baru dijumpai dalam karya sastra Jawa baru. Kemudian kata kakawin, kidung dan tembang digunakan sebagai sebutan bentuk puisi Jawa secara kronologis. Kakawin merupakan sebutan puisi jawa kuno berdasarkan metrum India, Kidung sebagai sebutan puisi jawa pertengahan berdasarkan metrum Jawa dan tembang adalah sebutan puisi Jawa baru berdasarkan metrum Jawa.

Berkaitan dengan kata tembang, muncul kata macapat yang kemudian digabung menjadi tembang macapat. Kata macapat diperkirakan bukan berasal dari bahasa Jawa kuno atau kawi, dan bukan berasal dari bahasa jawa pertengahan atau Jawa madya, melainkan berasal dari bahasa Jawa baru (Danusuprapta, 1981 : 151). Bahasa Jawa baru adalah bahasa yang digunakan dalam karya sastra jawa pada akhir abad XVI masehi.

Arti macapat menurut Poerwardarminta yaitu tembang yang biasa digunakan atau terdapat dalam kitab-kitab Jawa baru.

Karseno Saputra mendefinisikan :
"Macapat adalah karya sastra berbahasa Jawa baru berbentuk puisi yang disusun menurut kaidah-kaidah tertentu, meliputi guru gatra, guru lagu dan guru wilangan (Saputra, 1992 : 8).
Menurut Budya Pradita :
"Macapat adalah puisi tradisional Jawa yang ditembangkan secara vokal. Tanpa iringan instrumen apapun dengan patokan-patokan tertentu, meliputi patokan tembang dan patokan sastra" (Purna, 1996 :3).

Berdasarkan definisi diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa yang disebut tembang macapat adalah bentuk tembang yang merupakan bentuk puisi Jawa tradisional yang menggunakan bahasa Jawa baru dengan memiliki aturan-aturan atau patokan-patokan sastra Jawa.